Analisis dan Perbandingan Antara UUD 1945, Konstitusi RIS, UUDS 1950 dan UUD 1945 Amandemen.



A.    Pendahuluan
Negara Indonesia yang berdiri pada tanggal 17 Agustus 1945, untuk menyempurnakan negara maka tanggal 18 Agustus 1945 Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) bersidang dan berhasil menetapkan dan mengesahkan Dasar Negara, memilih Presiden dan Wakil Presiden yaitu Soekarno dan Hatta hingga format negara “Republik” yang diinginkan terbentuk.
Namun seoring berjalannya pemerintahan baru ini banyak menghadapi pergolakan politik dalam negeri serta usaha-usaha mempertahankan kemerdekaan yang mau tidak mau bersinggungan dan mempengaruhi jalannya pemerintahan dan kebijakan-kebijakan yang diprioritaskan bersifat “demi keberlangsungan negara”. Dalam menghadapi situasi seperti ini dapat di analisis beberapa perubahan dan pergantian Dasar Negara dalam periode-periode penting sejarah Indonesia.
Secara umum negara kita mengalami proses percobaan Demokrasi yang tidak mudah, yakni perubahan praktek ketatanegaraan dan sistem pemerintahan. Begitu juga dalam meletakkan Undang-Undang Dasar Negara yang bersifat “sementara” yakni UUD 1945, Konstitusi RIS, UUDS 1950 hingga kembalinya kepada UUD 1945 sampai sekarang yang telah mengalami amandemen.
Undang-Undang Dasar Negara yang rumuskan para pendahulu bertujuan untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman. Oleh karena itu sejarah mencatat mata rantai peristiwa dalam negeri dan lahirnya kebijakan-kebijakan yang mengarah kepada dinamika Undang-Undang Dasar Negara Indonesia.
B. Undang-Undang Dasar 1945
Undang-undang dasar ini diputuskan dan disahkan berlakunya oleh PPKI tanggal 18 Agustus 1945. Rancangan UUD 1945 ini dibuat oleh BPUPKI yang di pimpin oleh dr. Radjiman Wedyodiningrat. UUD 1945 ini di diumumkan secara resmi dalam Berita Republik Indonesia tanggal 15 Februari 1946 Tahun ke II No. 7.
Tata Cara perubahan  UUD 1945 diatur dalam Pasal 37, yakni:
1.    Untuk mengubah undang-undang dasar sekurang-kurangnya 2/3 dari pada jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat harus hadir;
2.    Putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 daripada jumlah anggota yang hadir.
Dilihat dari ketentuan perubahan tersebut, maka secara teoritis, UUD 1945 termasuk UUD yang rigid atau sulit diubah karena memerlukan persetujuan mayoritas mutlak (2/3 dari seluruh anggota MPR).
 Sedangkan MPR sendiri adalah sebuah lembaga permusyawaratan yang anggotanya terdiri dari seluruh anggota DPR, ditambah utusan daerah dan utusan golongan. Dengan demikian untuk mengubah UUD 1945 memerlukan prosedur yang panjang oleh lembaga yang anggotanya cukup banyak dan terdiri dari unsur-unsur yang beraneka ragam seperti perwakilan politik (DPR), unsur kedaerahan dan unsur fungsional.
Kemudian jika dilihat dari jumlah pasal-pasalnya, UUD 1945 termasuk yang sedikit jumlahnya, yakni hanya 37 pasal. Pasal-pasal UUD 1945 ini juga umum sifatnya sehingga dapat meyesuaikan dengan dirinya dengan perkembangan zaman. Hal tersebut disadari oleh para perumus UUD 1945 yang termuat dalam penjelasannya dengan kalimat:
“UUD hanya terdiri dari 37 pasal. Pasal-pasal lain hanya memuat peralihan dan tambahan. Maka rencana ini sangat singkat jika dibandingkan dengan Undang-Undang Dasar Philipina.
Maka telah cukup jikalau undang-undang dasar hanya memuat aturan-aturan pokok, hanya memuat garis-garis besar sebagai instruksi kepada pemerintah pusat dan lain-lain penyelenggara negara untuk menyelenggarakan kehidupan negara dan kesejahteraan sosial.
Terutama bagi negara baru dan negara muda, lebih baik hukum dasar yang tertulis itu hanya memuat aturan-aturan pokok, sedang aturan-aturan yang menyelenggarakan aturan pokok itu diserahkan kepada undang-undang yang lebih mudah cara membuat, merubah dan mencabut. Demikianlah sistem undang-undang dasar.
Kita harus senantiasa ingat kepada dinamik kehidupan masyarakat dan negara Indonesia. Masyarakat dan negara Indonesia tumbuh, zaman berubah, terutama zaman revolusi lahir batin sekarang ini. Oleh karena itu, kita harus hidup secara dinamis, harus melihat gerak-gerik kehidupan masyarakat dan negara Indonesia. Berhubung dengan itu, janganlah tergesa-gesa memberi kristalisasi, memberi bentuk (Gestaltung) kepada pikiran-pikiran yang masih mudah berubah.
Memang sifat aturan yang tertulis itu mengikat. Oleh karena itu, makin “supel” (elastic) sifat aturan itu makin baik. Jadi kita harus menjaga supaya sistem undang-undang dasar jangan sampai ketinggalan zaman. Jangan sampai kita membikin undang-undang yang lekas usang (verouderd). 
Yang sangat penting dalam pemerintahan dan dalam hal hidupnya negara ialah semangat, semangat para penyelenggara negara, semangat para pemimpin pemerintahan. Meskipun dibikin undang-undang dasar yang menurut kata-katanya bersifat kekeluargaan, apabila semangat para penyelenggara negara, para pemimpin pemerintahan itu bersifat perseorangan, undang-undang dasar tadi tentu tidak ada artinya dalam praktek.
Sebaliknya, meskipun undang-undang dasar itu tidak sempurna, akan tetapi jikalau semangat para penyelenggara pemerintahan baik, undang-undang dasar itu tidak akan merintangi jalannya negara.
 Jadi yang paling penting ialah semangat. Maka semangat itu hidup, atau dengan kata lain perkataan dinamis.
Berhubung dengan itu, hanya aturan-aturan pokok saja harus ditetapkan dalam undang-undang dasar, sedangkan hal-hal yang perlu untuk menyelenggarakan aturan-aturan pokok itu harus diserahkan kepada undang-undang”.
Karena mudah menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman dan sedikit pasalnya, maka dilihat dari teori yang kedua yaitu undang-undang dasar yang sedikit pasalnya, UUD 1945 termasuk supel dalam arti sulit dirubah atau tidak perlu banyak mengalami perubahan.
Dari ketentuan pada Aturan Tambahan UUD 1945 dapat disebutkan bahwa sifat dari UUD 1945 yang ditetapkan oleh PPKI hanya untuk sementara saja.[1]
Sebagaimana yang berbunyi:
1.    Dalam enam bulan sesudah berakhirnya peperangan Asia Timur Raya, Presiden Indonesia mengatur dan menyelenggarakan segala hal yang ditetapkan dalam undang-undang dasar ini;
2.    Dalam enam bulan sesudah Majelis Permusyawaratan Rakyat dibentuk, Majelis ini bersidang untuk menetapkan undang-undang dasar.[2]
Namun, setelah Perang Asia Timur Raya berakhir, MPR belum juga terbentuk sesuai dengan keinginan Aturan Tambahan UUD 1945 tersebut. Hal ini disebabkan situasi dalam negeri yang sedang perang mempertahankan kemerdekaan melawan Belanda yang diboncengi pihak sekutu.
Sesudah perang selesai, NKRI berubah menjadi Republik Indonesia Serikat, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia sendiri menjadi salah satu bagian dari Republik Indonesia Serikat (RIS) itu.
Maka UUD 1945 hanya berlaku di wilayah yang dikuasai RI saja. Setelah RIS bubar, digantikan oleh NKRI kembali, UUD 1945 sama sekali tidak berlaku lagi demikian juga Konstitusi RIS, keduanya digantikan oleh Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) tahun 1950.
Dalam praktek penyelenggaraan negara, terdapat perubahan yang berdasar pada situasi negara yang tidak kondusif saat itu namun tidak merubah secara formal UUD 1945, maka melalui Maklumat Wakil Presiden No. X Tanggal 16 Oktober 1945 dan Maklumat Pemerintah Tanggal 14 November 1945 yang memuat bahwa pertanggungjawaban Menteri-menteri bukan lagi kepada Presiden tetapi kepada KNIP yang terkenal sebagai perubahan sistem kabinet presidensial menjadi sistem kabinet parlementer.
 Dan kedudukan Presiden dengan sendirinya berubah dari kepala negara dan kepala eksekutif menjadi hanya kepala negara saja. Lebih jelas isi Maklumat tersebut adalah:
“Bahwa Komite Nasional Pusat, sebelum terbentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat diserahi kekuasaan legislatif dan menetapkan garis-garis besar haluan Negara, serta menyetujui bahwa pekerjaan Komite Nasional Pusat sehari-hari berhubung dengan gentingnya keadaan dijalankan oleh sebuah Badan Pekerja yang dipilih diantara mereka yang bertanggung jawab kepada Komite Nasional Pusat”.[3]
Dari keputusan diatas, maka dapat disimpulkan:
1.    Komite Nasional Indonesia Pusat ikut menetapkan garis-garis besar haluan Negara bersama-sama dengan Presiden. (Terjadi perubahan praktek penyelenggaraan negara pada Pasal 3 UUD 1945).
2.    Komite Nasional Indonesia Pusat menetapkan bersama-sama Presiden Undang-undang yang boleh mengenai segala macam urusan Pemerintahan. (Terjadi perubahan  praktek penyelenggaran negara pada Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) UUD 1945).
3.    Karena gentingnya keadaan maka dalam menjalankan tugas dan kewajiban sehari-hari dari KNIP diatas, akan dijalankan oleh Badan Pekerja yang bertanggung jawab kepada KNIP.
4.    Badan Pekerja saat itu tidak boleh lagi ikut campur tangan dalam kebijaksanaan Pemerintahan sehari-hari. Dimana pada masa sebelumnya Komite Nasional Indonesia sering ikut menyelenggarakan Pemerintahan membantu Presiden.
Perubahan kedua dalam praktek penyelenggaraan Negara adalah keluarnya Maklumat Pemerintah Tanggal 14 November 1945.
Maklumat ini dimaksudkan untuk mengadakan pembaharuan terhadap susuan kabinet yang sebelumnya dibawah pimpinan Presiden menjadi susunan kabinet baru yang merupakan suatu Dewan yang diketuai oleh Perdana Menteri. Oleh karena itu terjadi perubahan konstelasi dalam ketatanegaraan Republik Indonesia dari Sistem Presidensial menjadi Parlementer.
Sistem ketatanegaraan berdasarkan UUD 1945 tidak dikenal sistem pertanggungjawaban Menteri, artinya pertanggungjawaban Menteri kepada Badan Perwakilan, tetapi dipergunakan sistem pertanggungjawaban Presiden. Presiden bertanggungjawab kepada MPR. Menteri-menteri sebagai pembantu Presiden bertanggungjawab kepada Presiden.
Dikeluarkannya Maklumat tersebut, maka sejak saat itu Menteri-menteri yang diketuai Perdana Menteri sebagai Kepala Pemerintahan dan bertanggungjawab kepada Badan Perwakilan yang masih dipegang oleh KNIP.
Sedangkan fungsi Presiden hanya sebagai Kepala Negara saja. Jadi dikeluarkannya Maklumat ini adalah menindaklanjuti perubahan praktek ketatanegaraan yang telah berubah dengan ditetapkannya Maklumat Wakil Presiden sebelumnya.
C. Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS) 1949
Dengan melihat adanya perlawanan yang kuat dari pihak Republik untuk mempertahankan kemerdekaan dengan angkat senjata dan diplomasi, maka Belanda menyadari kemustahilan mendirikan pemerintahan seperti zaman Hindia Belanda dahulu.
Oleh karena itu diusahakanlah jalan lain dengan rencana mendirikan sebuah Komite Indonesia Serikat dengan maksud untuk mendirikan sebuah Negara yang berbentuk Federal, sedangkan Negara Republik Indonesia yang telah berdiri secara de facto dimungkinkan untuk dimusnahkan atau setidak-tidaknya hanya akan dijadikan daerah sesempi-sempitnya.
Situasi politik dalam negeri semakin memanas sejak Belanda melancarkan Agresi Militer hingga tahun 1948 yang melanggar Persetujuan Renville 17 Januari 1948 tentang pengakuan wilayah Republik Indonesia.
 Strategi Belanda ini tidak seperti yang diharap-harapkan, tetapi sebaliknya. Akhirnya PBB merasa perlu ikut campur menyelesaikan pertikaian ini. Maka diusahakanlah adanya suatu konferensi antara Negara Republik Indonesia dan Nederland. Dalam konferensi ini disertakan pula negara-negara bentukan Belanda “Byeenkomst voor Federal Overleg” (BFO).
 Diresmikanlah sebuah Konferensi bernama Konferensi Meja Bundar 2 November 1949 antara pihak Republik Indonesia, BFO dan Nederland serta Komisi PBB untuk Indonesia (UNCI) dengan hasil didirikannya Negara Republik Indonesia Serikat, penyerahan kedaulatan kepada RIS dan didirikannya Uni antara RIS dan Kerajaan Belanda.
Sementara itu direncanakan sebuah Undang-Undang Dasar oleh delegasi Republik Indonesia bersama-sama dengan delegas BFO yang bernama Konstitusi Republik Indonesia Serikat.
Konstitusi ini ditetapkan melalui Keputusan Presiden RIS No. 48 Tahun 1950, Tanggal 31 Januari 1950, namun dinyatakan berlaku pada saat pemulihan kedaulatan tanggal 27 Desember 1949.
Konstitusi RIS ini merupakan kesepakatan Delegasi Republik Indonesia dengan Delegai Daerah-Daerah Bagian dan disetujui oleh Pemerintah RI dan Pemerintah masing-masing Daerah Bagian, KNI dan DPR dari masing-masing Daerah Bagian, pada tanggal 14 Desember 1949.
Dengan berdirinya Negara RIS, dengan konstitusinya, maka Republik Indonesia hanya berstatus sebagai Negara Bagian saja dengan wilayah kekuasaan yaitu daerah yang disebut dalam Persetujuan Renville dan UUD 1945 hanya berstatus sebagai Undang-Undang Dasar Negara Bagian Republik Indonesia.
Konstitusi RIS ini dimaksudkan hanya berlaku sementara, karena menurut Pasal 186 Konstitusi RIS ini ditentukan bahwa:
“Konstituante[4] (Sidang Pembuat Konstitusi) bersama-sama dengan pemerintah selekas-lekasnya menetapkan Konstitusi Republik Indonesia Serikat yang akan menggantikan Konstitusi sementara ini”.
Sifat kesementaraannya ini disebabkan karena Pembentuk Undang-Undang Dasar merasa dirinya belum representatif untuk menetapkan sebuah Undang-Undang Dasar, selain daripada itu disadari pula bahwa pembuatan undang-undang dasar ini dilakukan dengan tergesa-gesa untuk sekedar memenuhi kebutuhan dibentuknya Negara Federal.
Oleh karena itu dikemudian hari akan dibentuk Konstituante yang bersama-sama Pemerintah untuk membuat Undang-Undang Dasar yang baru, sempurna dan bersifat tetap.
Dalam penggantian UUD 1945 ke Konstitusi RIS 1949, Pembukaan (Mukadimah) juga mengalami penggantian tetapi tetap memuat Pancasila dengan rumusan yang lebih singkat pada Sila ke 2 sampai ke 5.
 Umumnya penggantian ini adalah penggantian undang-undang dasar. Konstitusi RIS bukan ditetapkan MPR sebagaimana biasanya, tetapi ditetapkan melalui Keputusan Presiden.
Kekuasaan berkedaulatan didalam negara RIS adalah Pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat dan Senat (Pasal 1 ayat (2)).
Badan pemegang kedaulatan juga merupakan badan pembentuk undang-undang yakni Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat, tanpa ikut Senat. Pemerintah yang dimaksud menurut Konstitusi RIS ialah Presiden dan Menteri-menterinya (Pasal 68).

Dalam penyelenggaraan pemerintahan, Presiden tidak dapat diganggu gugat, tetapi tanggung jawab kebijakan pemerintah adalah ditangan Menteri-menteri, baik secara bersama maupun untuk seluruhnya, maupun masing-masing untuk bagiannya sendiri-sendiri (Pasal 118).
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa Konstitusi RIS dapat digolongkan kepada sistem yang menganut pertanggungjawaban menteri atau parlementer. Artinya apabila kebijakan menteri/para menteri ternyata tidak dapat dibenarkan oleh DPR, maka harus mengundurkan diri.
Namun pada sistem ini selama berlakunya Konstitusi RIS belum dapat dilaksanakan.
Hal ini disebabkan DPR yang ada belum didasarkan kepada pemilihan umum sesuai Pasal 111, tetapi masih DPR yang ditunjuk atas dasar Pasal 109 dan Pasal 110 Konstitusi RIS.
Sedangkan Pasal 122 Konstitusi RIS menentukan “Dewan Perwakilan Rakyat yang ditunjuk menurut pasal 109 dan 110 tidak dapat memaksa Kabinet atau masing-masing Menteri meletakkan jabatannya”.
Didalam Pasal 69 Konstitusi RIS ditentukan bahwa Presiden adalah kepala negara, dipilih oleh orang-orang yang dikuasakan oleh pemerintah bagian.
Untuk memenuhi amanat Pasal 69 tersebut, maka pada tanggal 16 Desember 1949 telah diadakan pemilihan Presiden untuk wilayah Republik Indonesia Serikat untuk pertama kali dilakukan oleh wakil-wakil dari pemerintah negara/daerah bagian.
Dari hasil pemilihan suara bulat memilih Soekarno yang pada waktu itu masih menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia, untuk menjadi Presiden Republik Indonesia Serikat.
Sedangkan untuk pertama kali Dewan Perwakilan Rakyat sebelum dibentuk berdasarkan pemilihan umum yang diamanatkan Pasal 111, maka pembentukannya masih berdasarkan Pasal 109 dan 110 Konstitusi RIS. Pasal 109 menentukan:
1.    Untuk Dewan Perwakilan Rakyat uang pertama, mengutus anggota-anggota dari daerah-daerah selebihnya yang tersebut dalam pasal 99, diatur dan diselenggarakan dengan perundingan bersama-sama oleh daerah-daerah bagian yang tersebut dalam pasal 2, kecuali Negara Republik Indonesia dengan memperhatikan asas-asas demokrasi dan seboleh-bolehnya dengan perundingan dengan daerah-daerah yang tersebut dalam pasal 2 sub c, yang bukan daerah bagian.
2.    Untuk pembagian jumlah-jumlah anggota yang akan diutus diantara daerah-daerah itu, diambil sebagai dasar perbandingan jumlah jiwa rakyat daerah-daerah bagian tersebut.
Pasal 110 menentukan:
1.    Bagaimana caranya anggota diutus ke Dewan Perwakilan Rakyat yang pertama, diatur oleh daerah-daerah bagian.
2.    Di mana pengutusan demikian tidak dapat terjadi dengan jalan pemilihan yang seumum-umumnya, pengutusan itu dapat dilakukan dengan jalan penunjukan anggota-anggota oleh perwakilan rakyat daerah-daerah bersangkutan, jika ada di situ perwakilan demikian.
Juga apabila, karena hal-hal yang sungguh, perlu diturut cara lain, yang diusahakan untuk mencapai perwakilan yang sesempurna-sempurnanya, menurut kehendak rakyat.
Dalam pelaksanaanya, belumpun dilaksanakan pemilu untuk memilih anggota DPR, Konstitusi RIS tidak berlaku lagi karena pada tanggal 17 Agustus 1950 disahkan Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia.
Oleh karena itu DPR adalah Dewan yang pertama dan terakhir kali yang disusun berdasarkan Pasal 109 dan 110 Konstitusi RIS. Disamping DPR terdapat pula Senat yang merupakan utusan-utusan yang mewakili daerah bagian. Anggota Senat ditunjuk oleh pemerintah negara bagian yakni 2 orang dari tiap negara bagian (Pasal 80).
D. Undang-Undang Dasar Sementara 1950
Negara Republik Indonesia Serikat, yang berdiri pada tanggal 27 Desember 1949 ternyata berumur pendek. 
Bentuk susunan federal yang bukan bentuk atas kehendak rakyat, akibatnya muncul tuntutan-tuntutan untuk kembali kedalam bentuk negara kesatuan.
Gelombang tuntutan-tuntutan ini semakin lama semakin kuat sehingga pada akhirnya satu persatu negara-negara bagian menggabungkan diri kembali kepada Negara Republik Indonesia, hanya tinggal tiga negara bagian saja yaitu Negara Indonesia Timur, Negara Sumatera Timur dan Negara Republik Indonesia.
Selain itu keadaan-keadaan di daerah sukar untuk dikontrol dan kewibawaan Pemerintah Negara Federal semakin berkurang di daerah.
Untuk mengatasi keadaan tersebut, maka diadakan permusyawaratan yang diadakan antara Pemerintah Negara Reublik Indonesia Serikat dan Pemerintah Negara Republik Indonesia yang mewakili Pemerintah Negara Indonesia Timur dan Pemerintah Negara Sumatera Timur.
Dalam permusyawaratan ini dicapai keputusan bersama yaitu Persetujuan 19 Mei 1950 yang menyetujui dalam waktu yang sesingkat-singkatnya untuk bersama-sama melaksanakan Negara Kesatuan sebagai jelmaan daripada Negara Republik Indonesia yang berdasarkan Proklamasi 17 Agustus 1945, dan untuk itu akan diperlakukan sebuah Undang-Undang Dasar Sementara dari Kesatuan ini, yaitu dengan cara mengubah konstitusi Republik Indonesia Serikat sedemikian rupa sehingga essensi UUD 1945 yaitu Pasal 27, 29 dan 33 ditambah dengan bagian-bagian yang baik dari Konstitusi RIS termasuk didalamnya.
Untuk melaksanakan persetujuan tersebut, dibentuklah sebuah Panitia bersama antara kedua pemerintah. Panitia ini merencanakan sebuah Undang-Undang Dasar Sementara Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Maka melalui sebuah Pernyataan Bersama tanggal 20 Juli 1950 disetujui rencana tersebut serta selekas-lekasnya disampaikan oleh Pemerintah Republik Indonesia Serikat kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan Senat Republik Indonesia, dan oleh Pemerintah Republik Indonesia kepada Bada Pekerja Komite Nasional Pusat untuk disahkan sehingga sebelum tanggal 17 Agustus 1950 Negara Kesatuan sudah dapat terbentuk.
 Rencana ini disetujui dan pada akhirnya ditetapkannya Undang-Undang Federal No. 7 tahun 1950 yang menetapkan perubahan Konstitusi Republik Indonesia Serikat menjadi Undang-Undang Dasar Sementara berdasarkan pada Pasal 190, Pasal 127a dan 191 ayat (2) Konstitusi Republik Indonesia Serikat.
Perubahan-perubahan mendasar dalam pelaksanaan ketatanegaraan menurut ketetapan UUDS 1950 dapat dilihat dari uraian Piagam Persetujuan Pemerintah Republik Indonesia Serikat dan Pemerintah Republik Indonesia tanggal 19 Mei 1950:
a)     Penghapusan Senat;
b)     DPRS terdiri dari atas gabungan DPR Republik Indonesia Serikat dan Badan Pekerja KNIP. Tambahan anggota atas penunjukan Presiden dipertimbangkan lebih jauh oleh kedua pemerintah; (untuk pertama kalinya, selanjutnya diatur dalam Pasal 56,57,58,59,60 dst.)
c)      DPRS bersama-sama dengan KNIP dinamakan Majelis Perubahan Undang-Undang Dasar, mempunyai hak mengadakan perubahan-perubahan dalam undang-undang yang baru; (selanjutnya diatur pada Pasal 91,92 dst)
d)     Konstituante terdiri dari anggota-anggota yang dipilih dengan mengadakan pemilihanan atas satu orang anggota untuk tiap 300.000 penduduk, dengan memperhatikan perwakilan yang pantas bagi golongan minoriteit; (Pasal 135 dst)
e)     Presiden adalah Presiden Soekarno; (diatur selanjutnya pada Pasal 45)
f)       Dewan Menteri harus bersifat kabinet parlementair; (Pasal 50,51,52 dst)
g)     Tentang jabatan Wakil Presiden dalam negara kesatuan selama sebelum Konstituante terbentuk, Pemerintah Republik Indonesia Serikat dan Pemerintah Republik Indonesia akan mengadakan tukar pikiran lebih lanjut. (Pasal 45 dst)
h)     Dewan Pertimbangan Agung dihapuskan.
Berdasarkan ketentuan-ketentuan yang termaktub dalam Undang-Undang Federal No. 7 tersebut, maka mulai dari itu bergantilah bentuk susunan Negara Serikat menjadi bentuk susunan Negara Kesatuan.
Pergantian bentuk susunan tersebut dilakukan dengan jalan mengubah dan menyempurnakan Konstitusi RIS menjadi Undang-Undang Dasar Sementara yang berlaku sejak 17 Agustus 1950.
Sama halnya dengan undang-undang dasar sebelumnya, UUDS adalah juga dimaksudkan bersifat sementara. Hal ini dapat dilihat pada Pasal 134:
“Konstituante (sidang pembuat Undang-Undang Dasar) bersama-sama Pemerintah selekas-lekasnya menetapkan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia yang akan menggantikan Undang-Undang Dasar ini”.
Sama seperti pendahulunya, perumus UUDS ini pun merasa dirinya belum lagi representatif untuk menetapkan sebuah Undang-Undang Dasar yang tetap, selain itu pembuatan UUDS ini dilakukan sekedar memenuhi kebutuhan akan perubahan bentuk susunan federal kedalam bentuk susunan kesatuan dan dilakukan tergesa-gesa.
 Itulah sebabnya dikemudian hari akan dibentuk sebuah yang representatif melalui hasil Pemilu yakni, Badan Konstituante yang bersama-sama Pemerintah membuat Undang-Undang Dasar yang tetap dan sempurna.
Konstituante hasil Pemilu tahun 1955 dilantik Presiden Soekarno pada tanggal 10 November 1956, namun setelah bekerja dua setengah tahun lamanya, badan ini tidak pernah berhasil menentukan sebuah Undang-Undang Dasar.
Oleh karena itu kebuntuan ini ditindaklanjuti melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang membubarkan Konstituante dan berlakunya kembali UUD 1945.
Meskipun Konstitusi RIS dan UUDS keduanya menganut sistem Parlementer, sebenarnya UUDS dalam merumuskan sistemnya lebih sempurna daripada Konstitusi RIS.
E. Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen
 Badan Konstituante ini bersidang kira-kira dua setengah tahun lamanya, namun belum pula menghasilkan sebuah Undang-Undang Dasar.
Perbedaan pendapat terlalu tajam di dalam Konstituante. Sementara itu suasana Demokrasi Liberal saat itu memuculkan pertentangan pendapat antara parpol-parpol juga ada di dalam Dewan Perwakilan Rakyat dan Badan Perwakilan lainnya hingga Badan Pemerintahan. Bahkan lebih-lebih pertentangan ini meluas didalam badan-badan swasta hingga masyarakat luas.
Untuk mengatasi keadaan ini, timbul ide untuk melaksanakan Demokrasi Terpimpin, suatu demokrasi yang sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia. Untuk menjalankan ide ini tidak mungkin lagi mempertahankan UUDS sebab sistemnya mempergunakan asas Demokrasi Liberal.
Menindaklanjuti situasi dalam negeri yang semakin memperlihatkan potensi yang berbahaya, maka Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang Republik Indonesia mengeluarkan Dekrit Tanggal 5 Juli 1959 yang intinya:
 membubarkan Konstituante, menetapkan UUD 1945 berlaku lagi dan tidak berlakunya UUDS, dan Pembentuka MPRS yang terdiri dari seluruh anggota DPR, DPD dan pembentukan DPA sementara.
Presiden sejak itu tidak lagi hanya berfungsi sebagai Kepala Negara, tetapi juga berfungsi sebagai Kelapa Pemerintahan (Eksekutif). Presiden adalah penyelenggara Pemerintahan Negara yang tertinggi dibawah MPR.
 Sistem Kabinet Parlementer yang sebelumnya ditinggalkan dan diganti kembali menurut UUD 1945. Kabinet terdiri dari Menteri-Menteri sebagai pembantu Presiden dan bertanggungjawab kepada Presiden, dan Presiden bertanggungjawab kepada MPR.
DPR yang sudah ada hasil Pemilu berdasarkan UU No. 7 tahun 1953, untuk sementara masih diberi wewenang menjalankan tugasnya menurut UUD 1945 melalui Penetapan Presiden No. 1 tahun 1959.
Karena tidak sesuai dengan jalannya Demokrasi Terpimpin dan Manifesto Politik Republik Indonesia, maka DPR yang baru keanggotaannya ditunjuk oleh Presiden mewakili tiap golongan politik yang kemudian di sebut DPR GR.
 Pembentukan MPR diatur dalam Penetapan Presiden No. 2 tahun 1959 yang menentukan MPR terdiri dari anggota DPR ditambah utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan yang jumlahnya ditetapkan oleh Presiden.
 Dewan Pertimbangan Agung kembali dibentuk dengan Penetapan Presiden No. 3 tahun 1959, DPA Sementara keanggotaannya diangkat dan diberhentikan oleh Presiden, jumlah anggota ditetapkan oleh Presiden, anggota DPA Sementara diangkat berdasarkan golongan politik, karya, cendikiawan, dan tokoh nasional.
Perubahan (Amandemen) UUD 1945 dilakukan oleh MPR Periode 1999 – 2004 dalam 4 tahap:
Perubahan Pertama tanggal 19 Oktober 1999, Perubahan Kedua tanggal 18 Agustus 2000, Perubahan Ketiga 9 November 2001 dan Perubahan Keempat tanggal 10 Agustus 2002. Perubahan ini berdasar pada ketentuan UUD 1945 yang berlaku sesuai Pasal 37 UUD 1945.
Pada perubahan pertama, MPR masih menyebutkan mengubah pasal-pasal UUD 1945 dan pada perubahan kedua dan ketiga disebutkan  mengubah/menambah pasal-pasal UUD 1945.  Pada perubahan keempat MPR bukan sekedar mengubah dan menambah pasal-pasal UUD 1945, tetapi sudah menetapkan UUD.
Dasar pemikiran yang melatarbelakangi dilakukannya perubahan UUD 1945 diantaranya adalah[5]:
1.    Mencakup tuntutan Reformasi 1998:
A.    Amandemen UUD 1945;
B.    Penghapusan Dwi Fungsi ABRI;
C.    Penegakan Supremasi Hukum, penghormatan HAM, dan pemberantasan KKN;
D.   Desentralisasi dan hubungan yang adil antara Pusat dan Daerah atau Otonomi Daerah;
E.    Mewujudkan kebebasan Pers;
F.    Mewujudkan kehidupan demokrasi.
G.   Struktur ketatanegaraan menurut UUD 1945, bertumpu pada kewenangan atau kekuasaan tertinggi di tangan MPR yang sepenuhnya melaksanakan kedaulatan rakyat, dengan akibat tidak terjadinya checks and balancesantar lembaga-lembaga kenegaraan.
H.    UUD 1945 menganut sistem executive heavy yang berarti kewenangan atau kekuasaan dominan berada di tangan Presiden (eksekutif) dalam menjalankan pemerintahan atau chief exevutive yang dilengkapi dengan berbagai hak konstitusional yang lazim disebut hak prerogatif, antara lain memberi grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi serta wewenang legislatif sebagai penyebab tidak berfungsinya prinsip checks and balances dan mendorong lahirnya wewenang yang otoriter.
I.     UUD 1945 didalamnya terdapat pasal-pasal yang terlalu luwes yang dapat menimbulkan multi-tafsir.
J.     Presiden diberi wewenang terlalu banyak oleh UUD 1945 untuk mengatur hal-hal penting dengan undang-undang. UUD 1945 menetapkan Presiden juga sebagai pemegang wewenang legislatif, sehingga Presiden dapat merumuskan hal-hal penting sesuai dengan kehendaknya dalam undang-undang. Hal ini menyebabkan pengaturan mengenai MPR, DPR, BPK, MA, HAM dan Pemerintahan Daerah disusun oleh wewenang Presiden dalam bentuk pengajuan rancangan undang-undang ke DPR.
K.    Semangat penyelenggara negara yang dirumuskan di dalam UUD 1945 belum cukup didukung ketentuan konstitusi yang memuat aturan dasar tentang kehidupan yang demokratis, supremasi hukum, perberdayaan rakyat, penghormatan HAM dan otonomi daerah;
L.    UUD 1945 bersifat ambivalen atau mendua, menganut sistem Presidensiil, akan tetapi Presidensiilnya tidak nyata, sebab Presiden harus bertanggung jawab pula kepada MPR yang berarti menganut sistem Kabinet Parlementer, jadi Presidensiilnya semu atau quasi Presidensiil.
Arti dari mengubah UUD 1945 ini adalah untuk menjadikan UUD lain dari semula, mengurangi atau menambah sesuatu yang sudah diatur dalam UUD yang tercantum dalam UUD karena faktor-faktor tertentu dilaksanakan berbeda.
Pada perubahan pertama berlaku mulai 19 Oktober 1999 meliputi sembilan pasal, yakni: (1) Pasal 5, tentang hak Presiden untuk mengajukan rancangan UU; (2) Pasal 7, tentang masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden; (3) Pasal 9, tentang ketentuan sumpah atau janji jabatan Presiden/Wakil Presiden;
(4) Pasal 13, tentang pengangkatan duta untuk negara lain dan penerimaan penempatan duta untuk negara Indonesia; (5) Pasal 14, tentang hak Presiden untuk memberi grasi, rehabilitasi, amnesti dan abolisi;
 (6) Pasal 15, tentang hak Presiden untuk memberi gelar, tanda jasa dan lain-lain tandan kehormatan; (7) Pasal 17, tentang Menteri-Menteri pembantu Presiden; (8) Pasal 20, tentang kekuasaan legislasi DPR; dan (9) Pasal 21, mengenai hak anggota DPR untuk mengajukan usul rancangan UU.
Pada perubahan kedua berlaku mulai 18 Agustus 2000 meliputi 25 Pasal dan 5 Bab yang mencakup hal-hal:
1.    Tentang Pemerintahan Daerah, 3 Pasal;
2.    Tentang Dewan Perwakilan Rakyat, 5 Pasal;
3.    Tentang Wilayah Negara, 1 Pasal;
4.    Tentang Warga Negara dan Penduduk, 2 Pasal;
5.    Tentang HAM, 10 Pasal;
6.    Tentang Pertahanan dan Keamanan Negara, 1 Pasal;
7.    Tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara, 5 Pasal.
Pada perubahan ketiga berlaku mulai 9 November 2001, meliputi 23 Pasal dan 3 Bab, mencakup kedaulatan, tata negara hukum, wewenang MPR, Presiden dan Wakil Presiden, DPR, Pemilu, APBN, BPK, Kekuasaan Kehakiman, Komisi Yudisial, dan Mahkamah Konstitusi. Pada perubahan keempat berlaku mulai 10 Agustus 2002 mencakup:
1.    UUD 1945 sejak ditetapkan pada tanggal 18 Agustus hingga saat ini, telah mengalami banyak perubahan, baik oleh praktek ketatanegaraan RI sebanyak empat kali, maupun oleh MPR sebanyak empat kali;
2.    Setelah perubahan keempat atas UUD 1945 oleh MPR, maka;
A.    UUD 1945 tidak lagi bersifat sementara, walaupun hanya mempunya nilai sejarah, sebab meskipun UUD 1945 bersifat tetap, pasal-pasalnya masih dapat diadakan perubahan berdasarkan Pasal 37 UUD 1945;
B.    UUD 1945 terdiri dai Pembukaan dan Pasal-Pasal. Penjelasan UUD 1945 ditiadakan, alasannya untuk menghindari kesulitan dalam menentukan status penjelasan dari sisi sumber hukum dan tata urutan peraturan perundang-undangan;
C.    Khusus mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia, tidak dapat dilakukan perubahan;
D.   MPR terdiri dari anggota DPR dan anggota DPD yang dipilih melalui Pemilu.
Menurut Pasal 37 UUD 1945, usul perubahan pasal-pasal UUD harus diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota MPR dan dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 dari julmlah anggota MPR. Putusan untuk mengubah UUD harus disetujui sekurang-kurangnya 50% dari seluruh anggota MPR.
Oleh karena itu, walaupun telah dilakukan perubahan-perubahan terhadap UUD 1945, tetap perlu diadakan perubahan lanjutan yang mendasar, menyeluruh, sistematis dan bertahap. Dengan demikian Undang-Undang Dasar ini akan menjadi Undang-Undang Dasar yang cukup modern dan religius, memuat landasan bagi kehidupan yang demokratis, pemberdayaan rakyat, penghormatan HAM dan supremasi hukum, sehingga tidak ada lagi peluang bagi penyelenggaraan negara yang sentralistik, otoriter dan KKN.



Tidak ada komentar: